Jumat, 20 Agustus 2010
Mewujudkan Ambisi Swasembada Gula
Dalam pertemuan di sebuah rumah makan di Jombang, Jawa Timur, Minggu awal Juli lalu, perwakilan dari 11 Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Petani Tebu Rakyat se-PTPN X membahas rencana menunda pengiriman tebu ke pabrik gula. Mereka meminta jaminan rendemen tebu minimal 7 atau lebih. Apabila tak dipenuhi sampai Senin, tebu berhenti dikirim.
Tak semua perwakilan bersuara sama karena ada yang sudah puas dengan rendemennya. Kesepakatan akhirnya dicapai, penghentian pengiriman dilakukan dua hari. Menurut peserta rapat dari wilayah kerja Pabrik Gula (PG) Watoe Toelis, Suwandi, penghentian tak bisa lebih lama karena petani akan rugi.”Kami kirim ke mana lagi kalau tidak ke PG,” kata Suwandi saat dihubungi kembali, Kamis (19/8). Upaya itu tak membawa banyak perubahan, hitungan rendemen tak berubah.
Rendemen hanyalah salah satu permasalahan industri gula Indonesia setelah merosot dari masa keemasan tahun 1930-an. Ambisi mencapai swasembada gula pada 2014 diupayakan melalui intensifikasi industri tebu yang sudah ada, ditambah penambahan lahan dan PG baru.
Intensifikasi berhubungan dengan rendemen yang diakui Menteri Pertanian Suswono masih jadi perdebatan karena ditentukan kualitas tanaman tebu, kemampuan PG mengambil kristal gula dari tebu, dan faktor manusia penghitung rendemen.
”Kenekatan” petani mengultimatum PG mencerminkan juga belum terbangunnya kemitraan setara. Padahal, keduanya saling butuh karena petani tebu tak mudah berganti ke tanaman lain. Upaya petani itu, terutama yang rendemennya di bawah 6, didesak turunnya pendapatan yang, menurut Suwandi, besarnya Rp 1 juta-Rp 2 juta daripada tahun lalu.
Anomali cuaca berupa curah hujan tinggi hingga musim kemarau diduga menurunkan rendemen. Biaya tahun ini juga meningkat, antara lain tebang-angkut, karena tanah basah akibat hujan sehingga truk tak dapat masuk jauh ke kebun. Kinerja sebagian besar PG di Jawa juga tak memuaskan. Menurut peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Ali Susmiadji, efisiensi PG mengambil sukrosa hanya 77-81 persen, sementara standar dunia 85 persen.
Deputi Menteri BUMN Agus Pakpahan mengatakan, saat ditugasi menilai PG di Jawa sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dia menemukan hanya 20 persen PG yang efisien secara ekonomis dan teknis. Usia PG yang tua—beberapa dibangun tahun 1830-an—menjadi penyebab. Saat itu diusulkan tidak memindahkan agroindustri gula Jawa ke luar Jawa seperti kesepakatan letter of intent dengan IMF tahun 1998, tetapi merestrukturisasi, merekayasa ulang, dan merevitalisasi PG.
Mengejar ambisi
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian sudah menyusun peta revitalisasi industri gula, berisi mulai dari masalah, cara mengatasi, hingga ukuran keberhasilannya. Peta itu mengenali kendala dalam kualitas tebu yang ditentukan oleh bibit, efisiensi PG, dan tata niaga. Sayangnya, peta tidak menghitung ketidakadilan perdagangan internasional.
Seperti laporan para duta besar dan kuasa usaha ad interim dalam Ekonomi Gula 11 Negara Pemain Utama Dunia, Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia (Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2004), 10 negara yang dikaji memberlakukan kebijakan promosi dan proteksi. Mulai dari peran negara dalam penelitian dan pemberian bunga rendah pembiayaan industri hingga proteksi melalui pembatasan impor melalui kuota, bea masuk tambahan dan tarif, serta pengaturan pasokan domestik.
Dalam upaya menuju swasembada gula dengan sasaran 5,7 juta ton gula kristal putih (GKP), hampir dua kali target produksi 2010 (2,9 juta ton), kesan yang muncul adalah kurangnya koordinasi. Pernyataan Wakil Menteri Pertanian dan Kepala Bulog, pekan lalu, tentang rencana impor gula dilakukan sebelum penghitungan produksi selesai karena Agustus ini masih puncak giling.
Dari sisi tanaman, Ali Susmiadji menghitung, bila tahun ini pembibitan mulai dilakukan, tahun 2011 bibit mulai ditanam di 30 persen lahan petani sambil membangun pabrik baru. Artinya, pabrik baru beroperasi penuh tahun 2014. Nyatanya, usaha pembibitan belum tampak dan meningkatkan efisiensi industri yang ada butuh waktu lama.
Staf Ahli Asosiasi Gula Indonesia Colosewoko mengatakan, peraturan sudah memadai, hanya tinggal pelaksanaan. Contohnya, SK Menperindag No 527/2004 bahwa gula rafinasi hanya boleh dijual ke industri menimbulkan tafsir ganda, apakah industri rumah tangga yang secara tradisional konsumen GKP juga termasuk industri seperti pada SK. Kenyataannya, sulit mengawasi gula kristal rafinasi (GKR) tak dikonsumsi langsung jika industri rumah tangga dimasukkan sebagai pemakai GKR. Alhasil, keluhan GKR masuk ke eceran dan menekan harga GKP akan terus terjadi.
Maka, seperti dikatakan Komisaris Utama PTPN X HS Dillon, yang pernah memimpin restrukturisasi PTPN, diperlukan keberpihakan kepada petani dan rakyat banyak, bukan ego sektoral. (Ninuk M Pambudy)