TANGGAL 17 April kemarin dikenang sebagai Hari Tani se-Dunia. Kisahnya berawal dari sebuah tragedi di kota Eldorado dos Carajos, Brasil, menyusul bentrok massal antara aparat keamanan dan rakyat setempat. Dikabarkan 19 petani tewas dan 60 orang luka berat pada tragedi yang meletus tanggal 17 April 1996 itu.
Tragedi ini kelak melahirkan gerakan rakyat di Brasil dalam bendera Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST), semacam gerakan rakyat tak bertanah yang gencar memperjuangkan reforma agraria atas inisiatif rakyat. Gerakan rakyat tak bertanah di Brasil belakangan menginspirasi gerakan tani di berbagai belahan dunia. Sebagai kristalisasi dari kerja konsolidasi lintas negara, kini di tingkat internasional telah terbentuk organisasi gerakan tani bernama La Via Campesina.
Bagaimana dengan Indonesia? Setelah memasuki era reformasi, di Indonesia telah berdiri puluhan serikat tani di berbagai level. Di luar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), di tingkat nasional ada organisasi gerakan tani, seperti Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Tani Nasional (STN), Persatuan Tani Nelayan Indonesia (PETANI) Mandiri, dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Sekalipun masing-masing punya karakteristik, namun agenda pokoknya sebangun, yakni memperjuangkan reforma agraria sejati di bumi Indonesia.
Bagi bangsa yang baru mengecap kemerdekaan berserikat dan berkumpul- setelah Orde Baru merampasnya lebih kurang 30 tahun, kehadiran berbagai organisasi tani ini ibarat pelita di tengah kemuraman hidup petani Indonesia. Kita telah mafhum bahwa hanya melalui organisasi yang kuat, solid, dan memihak petanilah, maka harapan petani untuk meningkatkan martabatnya sebagai manusia utuh maupun penghasil makanan bagi umat manusia jadi lebih mungkin untuk tercapai. Bak sapu lidi, dengan persatuan yang diikat kuat, akan lebih ampuh menyingkirkan sampah ketimbang hanya lidi sebatang yang pastilah rentan patah.
Globalisasi, Ketika mengingat tragedi 17 April di Brasil, kehidupan petani dan sektor pertanian sekarang sedang menghadapi tantangan yang tidak semata di tingkat lokal dan nasional, namun tantangan yang terbesar dan terberat mengepung dari tingkat global.
Sektor pertanian negara berkembang kini dikangkangi kebijakan ekonomi-politik nasional yang diikatkan erat secara global. Bonnie Setiawan dalam Globalisasi Pertanian menandaskan bahwa pertanian sesungguhnya adalah fondasi dan hidup-matinya sebuah negara. Namun, celakanya, kita sudah masuk ke dalam tahap perkembangan dunia terbaru, yaitu globalisasi pertanian, di mana AoA (Agreement on Agriculture) sebagai bagian dari WTO (World Trade Organization) sejak 1 Januari 1995 akan mengatur semua subyek pertanian kita. AoA juga akan mengatur bagaimana sektor pertanian diurus oleh negara (2004, hal 4).
Berdasar pengalaman, liberalisasi pertanian menghasilkan kecenderungan negatif bagi petani dan pertanian kita. Beberapa dampak yang sudah mulai dirasakan, pertama, menempatkan petani sebagai obyek yang disetir oleh kepentingan modal yang ditanamkan di sektor pertanian. Kedua, tidak adanya proteksi yang substansial bagi petani agar dapat tetap aman dalam kegiatan pertanian. Ketiga, dihapuskannya subsidi bagi sektor pertanian yang menyebabkan melemahnya dukungan negara bagi petani. Keempat, membanjirnya produk pertanian impor yang menggerus daya saing produk petani kita. Kelima, menjadikan sektor pertanian menjadi urusan elite ekonomi sembari mempercepat urbanisasi dan proletarisasi.
Ini peringatan dini atas ancaman kedaulatan pertanian kita dan bangsa agraris secara keseluruhan. Posisi negara kini tengah berada di pusaran neoliberalisme yang menghendaki pengurangan bahkan sejauh mungkin penghapusan peran negara dalam mengatur dan menentukan kebijakan pertanian sekalipun menyangkut mayoritas warganya sendiri.
Grab The Bookmarketer For Your Site